Jumat, 23 Juli 2010

Renovasi Gereja Tugu Tuai Kontroversi

RENOVASI Gereja Tugu, Jakarta Utara, menuai kontroversi antara pihak komunitas dengan pihak gereja. Di satu pihak, pemugaran terhadap gereja yang berdiri sejak 1748 ini dinilai telah menyalahi Peraturan Daerah Nomor 9 tahun 1999 tentang pelestarian dan pemanfaatan lingkungan karena telah mengubah bentuk bangunan asli.

Ikatan Keluarga Besar Tugu (IKBT) sendiri berpendapat bahwa pendapat tersebut keliru. Pasalnya, renovasi dilakukan berdasarkan persetujuan dari pemerintah serta dijalankan oleh kontraktor atas izin dari dinas pariwisata dan kebudayaan Provinsi DKI Jakarta.

Dalam pemugaran ini, IKBT sendiri berperan sebagai pihak yang mengajukan proposal pemugaran dengan pertimbangan bangunan cagar budaya ini perlu peremajaan.

"Pemerintah yang mengeluarkan peraturan bahwa bangunan ini tidak boleh diubah tanpa seizin mereka. Oleh karena itulah, pihak komunitas mengajukan proposal untuk pemugaran. Pada pelaksanaannya, kan pemerintah juga yang mengeksekusi, jadi boleh-boleh saja dilakukan renovasi, dong," tukas Yosias Balelang, Ketua RT01/RW 06, Kecamatan Tugu yang juga Ketua Dewan Penasehat IKBT, kemarin.

Gereja Protestan ini sendiri mulai direnovasi pada bulan Oktober 2009 silam dan selesai dipugar setelah Natal atau akhir Desember di tahun yang sama. Namun, pihak pengurus gereja menolak melakukan aktivitas peribadatan karena menilai struktur bangunan tidak lagi mencerminkan bangunan asli.

Pengurus gereja menyatakan kontraktor tidak memiliki konsep matang mengenai struktur asli bangunan. Hal-hal yang harus dipugar ini sebetulnya telah dituangkan dalam proposal dari IKBT sehingga kontraktor dalam hal ini tidak bisa terlalu banyak disalahkan karena hanya bertindak sebagai eksekutor.

Terlepas dari hal itu, pihak gereja menilai setidaknya terdapat tiga kejanggalan yang merusak struktur asli bangunan. Pertama, kanopi di teras depan seharusnya menempel dengan dasar atap. Namun kenyataannya kanopi berada sekitar satu meter di bawahnya.

Kedua, pinggiran atap kurang lebar 2 meter sehingga dindingnya rawan terkena air dan lembab sehingga mudah jamuran. Ketiga, pendingin ruangan atau AC kurang fleksibel alias tidak bisa dipindah-pindah seperti dahulu.

Selain itu, warna cat juga sempat dipermasalahkan. Pasalnya, kontraktor mengecat dinding luar dengan warna yang tidak sama alias belang-belang sehingga terlihat kusam. Total biaya pemugaran ini sendiri diperkirakan sekitar Rp 430 an juta.

Pihak gereja sendiri tidak dilibatkan secara langsung dalam pemugaran gereja ini. Menurut Yosias, hal itu wajar-wajar saja karena pihak gereja memang seharusnya hanya menjalankan fungsi sebagai perantara peibadatan dan pemelihara gereja. Sementara pemilik gereja merupakan IKBT selaku ahli waris.

"Gereja memang tidak dilibatkan padahal mereka merasa memelihara, sementara yang memiliki kan tetap IKBT. Beda antara kedua kata itu cukup signifikan," tegas pria berusia 62 tahun itu.

Aktivitas peribadatan baru berjalan secara semestinya pada Mei 2010. Hal ini dikarenakan desakan jemaat yang dibarengi dengan aksi mengecat dinding luar gereja dengan warna putih terang. Upaya pengecatan ini sendiri memakan biaya sekitar Rp 21 juta yang murni dikeluarkan dari kantong jemaat.

"Jemaat sendiri hanya mempermasalahkan soal AC yang kurang fleksibel saja. Namun sejak sekitar sebulan lalu, kegiatan sudah kembali normal. Warna cat ini sudah merupakan warna asli dan didapat dari hasil sumbangan jemaat, kira-kira memakan biaya 21 juta rupiah," kata Yosias sambil menunjuk ke arah dinding warna putih bersih tersebut. [Sumber : Media Indonesia]