Jumat, 23 Juli 2010

Renovasi Perparah Kondisi Gereja Tugu

PERUBAHAN desain dinilai melanggar Perda tentang Pelestarian dan Pemanfaatan Lingkungan. Pemugaran Gereja Tugu di Jalan Raya Tugu, Kelurahan Tugu, Cilincing, Jakarta Utara, dinilai justru merusak keaslian bentuk bangunan. Padahal gereja ini merupakan salah satu bangunan cagar budaya.

"Ketika merenovasi bangunan, mereka (kontraktor proyek) sudah diberitahu, tapi tetap saja membangun sesuai keinginannya," kata Tatik, seorang warga keturunan Portugis yang juga salah satu jemaat Gereja Tugu saat ditemui di Gereja Tugu kemarin.

Karena kecewa berat terhadap pemugaran yang telah menelan biaya Rp500 juta itu, Tatik yang mewakili warga keturunan Portugis, menuntut pemerintah Jakarta segera mengembalikan bentuk bangunan itu seperti semula.

Menurutnya, perbedaan bangunan baru dengan yang lama sangat mencolok.

Bangunan yang diubah bentuk aslinya oleh kontraktor ialah kanopi, kisi-kisi lubang angin, dan pembongkaran tembok untuk pemasangan AC. “Kami tak perlu pakai AC, yang penting keasliannya harus dijaga.”

Perubahan desain dinilai melanggar Peraturan Daerah Nomor 9 tahun 1999 tentang Pelestarian dan Pemanfaatan Lingkungan. Dalam Perda itu disebutkan kegiatan berupa memugar atau mengubah bentuk/warna, mengganti elemen (bagian) dari bangunan merupakan cagar budaya serta lingkungan pekerjaan harus dengan izin gubernur, pemerintah, serta Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jakarta.

Kepala Sub Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jakarta Utara, Nanik Ophir Yani, mengakui bangunan cagar budaya itu memang sudah seharusnya dilindungi.

Sayangnya, ia mengaku tak berwenang untuk menegur tindakan pemugaran yang telah mengubah bentuk aslinya itu. Sebab kewenangannya ada di Dinas Pariwisata dan Kebudayaan. [Sumber : Vivanews]

Renovasi Gereja Tugu Tuai Kontroversi

RENOVASI Gereja Tugu, Jakarta Utara, menuai kontroversi antara pihak komunitas dengan pihak gereja. Di satu pihak, pemugaran terhadap gereja yang berdiri sejak 1748 ini dinilai telah menyalahi Peraturan Daerah Nomor 9 tahun 1999 tentang pelestarian dan pemanfaatan lingkungan karena telah mengubah bentuk bangunan asli.

Ikatan Keluarga Besar Tugu (IKBT) sendiri berpendapat bahwa pendapat tersebut keliru. Pasalnya, renovasi dilakukan berdasarkan persetujuan dari pemerintah serta dijalankan oleh kontraktor atas izin dari dinas pariwisata dan kebudayaan Provinsi DKI Jakarta.

Dalam pemugaran ini, IKBT sendiri berperan sebagai pihak yang mengajukan proposal pemugaran dengan pertimbangan bangunan cagar budaya ini perlu peremajaan.

"Pemerintah yang mengeluarkan peraturan bahwa bangunan ini tidak boleh diubah tanpa seizin mereka. Oleh karena itulah, pihak komunitas mengajukan proposal untuk pemugaran. Pada pelaksanaannya, kan pemerintah juga yang mengeksekusi, jadi boleh-boleh saja dilakukan renovasi, dong," tukas Yosias Balelang, Ketua RT01/RW 06, Kecamatan Tugu yang juga Ketua Dewan Penasehat IKBT, kemarin.

Gereja Protestan ini sendiri mulai direnovasi pada bulan Oktober 2009 silam dan selesai dipugar setelah Natal atau akhir Desember di tahun yang sama. Namun, pihak pengurus gereja menolak melakukan aktivitas peribadatan karena menilai struktur bangunan tidak lagi mencerminkan bangunan asli.

Pengurus gereja menyatakan kontraktor tidak memiliki konsep matang mengenai struktur asli bangunan. Hal-hal yang harus dipugar ini sebetulnya telah dituangkan dalam proposal dari IKBT sehingga kontraktor dalam hal ini tidak bisa terlalu banyak disalahkan karena hanya bertindak sebagai eksekutor.

Terlepas dari hal itu, pihak gereja menilai setidaknya terdapat tiga kejanggalan yang merusak struktur asli bangunan. Pertama, kanopi di teras depan seharusnya menempel dengan dasar atap. Namun kenyataannya kanopi berada sekitar satu meter di bawahnya.

Kedua, pinggiran atap kurang lebar 2 meter sehingga dindingnya rawan terkena air dan lembab sehingga mudah jamuran. Ketiga, pendingin ruangan atau AC kurang fleksibel alias tidak bisa dipindah-pindah seperti dahulu.

Selain itu, warna cat juga sempat dipermasalahkan. Pasalnya, kontraktor mengecat dinding luar dengan warna yang tidak sama alias belang-belang sehingga terlihat kusam. Total biaya pemugaran ini sendiri diperkirakan sekitar Rp 430 an juta.

Pihak gereja sendiri tidak dilibatkan secara langsung dalam pemugaran gereja ini. Menurut Yosias, hal itu wajar-wajar saja karena pihak gereja memang seharusnya hanya menjalankan fungsi sebagai perantara peibadatan dan pemelihara gereja. Sementara pemilik gereja merupakan IKBT selaku ahli waris.

"Gereja memang tidak dilibatkan padahal mereka merasa memelihara, sementara yang memiliki kan tetap IKBT. Beda antara kedua kata itu cukup signifikan," tegas pria berusia 62 tahun itu.

Aktivitas peribadatan baru berjalan secara semestinya pada Mei 2010. Hal ini dikarenakan desakan jemaat yang dibarengi dengan aksi mengecat dinding luar gereja dengan warna putih terang. Upaya pengecatan ini sendiri memakan biaya sekitar Rp 21 juta yang murni dikeluarkan dari kantong jemaat.

"Jemaat sendiri hanya mempermasalahkan soal AC yang kurang fleksibel saja. Namun sejak sekitar sebulan lalu, kegiatan sudah kembali normal. Warna cat ini sudah merupakan warna asli dan didapat dari hasil sumbangan jemaat, kira-kira memakan biaya 21 juta rupiah," kata Yosias sambil menunjuk ke arah dinding warna putih bersih tersebut. [Sumber : Media Indonesia]

Pemugaran Gereja Tugu Mengecewakan

PROYEK pemugaran Gereja Tugu di Koja, Jakarta Utara, mengecewakan warga setempat. Pasalnya, setelah dipugar, bentuk gereja tidak sesuai dengan bangunan aslinya.

Bangunan bersejarah yang terletak di Jalan Raya Tugu, Semper Barat, Cilincing, Jakarta Utara, itu terlihat lebih ramping. Warga mendesak Pemprov DKI mengembalikan bangunan itu ke bentuk aslinya.

Salah seorang jemaat, Retha Ticoalu (63), yang dihubungi wartawan, Kamis (22/7/2010), mengatakan, para jemaat sudah menyampaikan permintaannya kepada pihak terkait. "Sekarang gereja terlihat lebih ramping karena panjang plafon untuk atapnya dikurangi, seharusnya renovasi tidak mengubah bentuk aslinya," tutur Retha.

Perubahan juga terlihat di bagian atap teras gereja bagian depan dan belakang. Perubahan itu memunculkan masalah saat hujan turun karena tempias membasahi teras gereja.

Para anggota Pelaksana Harian Majelis Jemaat (PHMJ) sudah melayangkan surat ke Dinas Kebudayaan dan Pemuseuman DKI. Namun, dinas tersebut melempar tanggung jawab pengawasan ke Sudin Kebudayaan Jakarta Utara.

Sebaliknya, Kepala Sudin Kebudayaan Jakarta Utara Nanny Ophir menyatakan, pemugaran bangunan cagar budaya itu dilaksanakan oleh dinas, termasuk proses lelang, gambar, dan pengawasan. "Sudin Kebudayaan Jakarta hanya kebagian penganggarannya dan anggaran itu langsung ke rekening bank kontraktor yang bersangkutan," tutur Nanny.

Dikatakannya, instansi terkait sudah empat kali membicarakan masalah ini dengan kontraktor yang mengerjakan pemugaran gereja tersebut berkaitan dengan pengembangan program 12 Destinasi Wisata Pesisir. Dalam rapat, kontraktor menyatakan akan mengembalikan gereja ke bentuk aslinya.

Gereja Tugu adalah salah satu gereja tertua di Indonesia yang tidak diketahui secara pasti kapan mulai dibangun. Para ahli sejarah menyimpulkan gereja itu dibangun sekitar tahun 1676-1678, bersamaan dengan dibukanya sebuah sekolah rakyat pertama di Indonesia oleh Melchior Leydecker. Pada tahun 1737 Gereja Tugu direnovasi pertama kali dibawah pimpinan pendeta Van De Tydt, dibantu oleh seorang pendeta keturunan Portugis kelahiran Lisabon, Ferreira d'Almeida, dan orang-orang Mardijkers. [Sumber : Kompas]

Selasa, 08 Juni 2010

Gereja Tugu Segera Dikonservasi

SETELAH sekian lama warga Kampung Tugu menanti upaya perbaikan terhadap gereja mereka, akhirnya kabar baik itu datang juga dari Pemprov DKI, dalam hal ini dari Suku Dinas Kebudayaan Jakarta Utara.

Kabar bahwa pekan depan gereja mereka, gereja bersejarah dari abad 18, akan mulai dikonservasi cukup melegakan hati warga Kampung Tugu. Khususnya warga yang biasa menggunakan Gereja Tugu sebagai tempat ibadah selama puluhan tahun. Kampung yang merupakan kawasan cagar budaya yang gagal, seperti yang terjadi pada Kampung Betawi Condet ini, menyisakan warisan berupa bangunan gereja dan satu bangunan rumah keturunan Portugis sebagai penanda sejarah - selain Keroncong Tugu, tentunya.

Sekitar tahun lalu Warta Kota sudah melihat atap bangunan yang masuk dalam daftar cagar budaya ini penuh dengan bercak-bercak bekas bocor dari air hujan. Di samping itu, atap di sisi kiri gedung sudah pula melengkung. Belum lagi tembok bangunan yang terkena rembesan air tanah. Tahun lalu pula, banjir merendam pekuburan para leluhur keturunan Portugis di Kampung Tugu, Semper, Jakarta Utara, ini. Atap gedung ini tampak sudah keropos. Jangan sampai kejadian seperti gelagar Museum Bahari yang roboh di awal tahun lalu terjadi lagi di sini.

Seorang anggota gereja yang menerima rombongan Ekspedisi Marunda IV menyatakan, mulai pekan depan ibadah jemaat akan dipindah ke Gedung Serba Guna Yeruel, sebuah bangunan di sebelah gereja utama. Pemindahan itu terkait makin parahnya kerusakan atap gedung gereja dan akan dimulainya proses pembenahan gedung cagar budaya itu. Belum ada pihak dari Suku Dinas Kebudayaan Jakarta Utara yang bisa memberi konfirmasi perihal ini.

Gereja Tugu menyimpan bangku diakon antik dan mimbar tua. Di samping kanan gereja ada lonceng tua. Adolf Heuken, penulis sejarah Jakarta, mencatat lonceng ini berasal dari tahun 1880.

Tentu saja suka cita warga Kampung Tugu dan jemaat Gereja Tugu adalah suka cita warga Jakarta pada umumnya. Jejak sejarah melalui bangunan berupa masjid, kelenteng, dan gereja menjadi daya tarik warga yang mulai menjadikan wisata sejarah dan wisata budaya sebagai alternatif di hari libur.

Seperti juga yang diperlihatkan peserta Ekspedisi Marunda IV yang digelar Komunitas Historia, sepanjang Minggu (7/6). Daya tarik Gereja Tugu - dibangun atas biaya Justinus Vinck antara tahun 1744 dan 1747 - tak lepas dari kekayaan tradisi Kampung itu sendiri. Bicara soal Gereja Tugu, maka mau tidak mau mereka akan bicara tentang sisa-sisa keturunan Portugis yang masih ada lengkap dengan nama Portugis. Ini saja sudah bikin penasaran banyak peserta wisata hingga beberapa ingin kembali ke kampung ini untuk bisa lebih puas menikmati di kompleks Gereja Tugu , rumah Portugis, dan keroncong bersama keturunan Portugis yang masih tersisa.

Semoga rasa penasaran lain, tentang upaya membenahi bangunan gereja ini, juga segera terjawab. [Sumber : Kompas]