Selasa, 29 Desember 2009

Jemaat Gereja Tugu Rayakan Natal di Bawah Tenda

PERAYAAN Natal di Gereja Tugu yang terletak di Jalan Raya Tugu No 20. Semper Barat. Cilincing, Jakarta Utara. Jumat (25/12) pagi berlangsung hikmat. Namun kebaktian Natal di gereja Ini dilakukan di bawah tenda karena Gereja Tugu yang dibangun pada sekitar tahun 1748 sedang direnovasi.

Gereja peninggalan Portugis yang merupakan salah satu dari 12 obyek wisata pesisir di wilayah Jakarta Utara Itu mengadakan perayaan Natal dengan diiringi keroncong Tugu. Tata ibadah yang dilakukan berlangsung hikmat dan sebelum dimulai tata Ibadah, lonceng yang berada di depan Gereja Tugu dibunyikan sebanyak tiga kali.

Sejak 1999. Gereja Tugu merupakan salah satu cagar budaya dan merupakan saksi sejarah berdirinya bangsa Indonesia. Saat ini. gereja yang telah berdiri sejak abad ke 17 itu terus melakukan pembenahan.Generasi penerus Gereja Tugu adalah warga keturunan Portugis, namun mereka tidak ada yang mengetahui secara pasti kapan gereja ini mulai dibangun. Sementara warga keturunan Portugis yang merawat geraja ini yakin pembangunan dilakukan sekitar 1676-1678.

Ketua [katan Keluarga Besar Tugu (IKBT) Andre Juan Michiels mengatakan la bersyukur atas kepedulian Pemerintah Kota Jakarta Utara karena merenovasi gereja tersebut. "Meski Natal kali ini Jemaat gereja beribadah di depan gereja yang saat Ini sedang direhab, tapi Ibadah tetap berjalan lancar." ujarnya.Menurut Andre, perayaan Natal tersebut dihadiri sekitar 400 jemaat dari berbagai suku. Tidak hanya dari warga keturunan Portugis tapi segala suku." ungkapnya.

Dijelaskan oleh Andre, salah satu ciri khas Gereja Tugu adalah lonceng di sisi selatan gereja. Diperkirakan lonceng tersebut dibuat pada 1880. Ciri khas lain masih dipertahankannya arsitektur gaya Eropa abad pertengahan, termasuk desain Interiornya.Andre, yang merupakan keturunan Portugis ke 10 itu berharap, renovasi yang dilakukan cepat selesai. Gereja tersebut memiliki alkitab berbahasa Melayu yang diterbitkan pada 1678 dengan Jemaat 50 keluarga terdiri atas 200 Jiwa, yang merupakan warga keturunan Portugis.

Pengamanan perayaan Natal di Gereja Tugu dilakukan oleh lima anggota Polsek Cilincing. Gereja ini tidak termasuk gereja yang diperiksa oleh tim gegana. Menurut Kapolres Jakarta Utara Kombes Rudy Supahriady penyisiran gereja oleh Um gegana berdasarkan permintaan pengelola gereja. [Sumber : www.bataviase.co.id]

Senin, 21 Desember 2009

Gereja Togoe Perlu Direnovasi

BANGUNAN Gereja Tugu (Togoe), yang telah menjadi cagar budaya dan menjadi tujuan wisata religi di Jakarta Utara, perlu mendapatkan perlindungan dan perhatian lebih dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

Gereja Togoe yang berdiri sejak abad ke 17 kini perlu pembenahan dan renovasi. Tempat ibadah umat Kristiani yang termakan usia, harus terus direnovasi.

Tempat ibadah yang dibangun warga keturunan Portugis ini, dibangun tahun 1676-1678.

"Pada 1737 dilakukan renovasi pertama oleh Pendeta Van de Tydt, dibantu oleh seorang pendeta keturunan Portugis kelahiran Lisabon yaitu Ferreira d`Almeida dan orang-orang Mardijkers (sebutan bagi para bekas anggota tentara Portugis dan keturunan Portugis di Batavia yang dibebaskan dari tawanan Belanda --Red)," kata Ketua Ikatan Keluarga Besar Tugu, Andre Juan Michiels, 42 tahun, Minggu (20/12).

Andre menjelaskan salah satu ciri khas Gereja Tugu adalah lonceng yang ada disisi selatan gereja.

Lonceng tersebut dibuat pada 1880. Ciri khas lain dari Gereja Tugu adalah, masih dipertahankannya arsitektur gaya Eropa abad pertengahan, termasuk desain interiornya.

Andre yang juga merupakan ketua perkumpulan Keroncong Tugu itu, mengatakan sejak tahun lalu atap gereja terlihat penuh dengan bercak-bercak bekas air hujan yang masuk akibat genteng bocor. Selain itu, atap di sisi kiri gedung sudah melengkung. Ditambah lagi dengan tembok gereja yang terkena intrusi air asin.

Untuk itu Andre berharap, renovasi yang dilakukan oleh Suku Dinas Kebudayaan Jakarta Utara dapat selesai sebelum perayaan Natal pada 25 Desember 2009.

Gereja Tugu, Sabtu (19/12), menyelenggarakan ibadat Natal khusus keluarga besar tugu yang seluruhnya merupakan keturunan bangsa Portugis. "Perayaan Natal 25 Desember nanti seluruh warga Kristen Protestan bisa hadir ke geraja ini. Tapi hari ini, kita adakan khusus warga Kampung Tugu," tukas Andre, yang merupakan generasi ke-10 warga Kampung Tugu Keturunan Portugis ini.

Dalam doa rutin diadakan seminggu sebelum perayaan Natal, salah satu pengisi acara yang rutin dan menjadi trademark dari gereja ini adalah penampilan kelompok Keroncong Tugu. "Ini merupakan salah satu ciri khas Gereja Tugu," tambahnya.

Gereja Tugu terlihat begitu anggun dengan halamannya yang luas dan banyak ditumbuhi pohon rimbun. Tak ada penataan khusus pada halam an gereja itu, sehingga jika menengok ke dalam lingkungan gereja ini seolah kita terlempar ke masa lalu.

Di gereja ini pula, pada tahun 1678 untuk pertama kali alkitab berbahasa Melayu diterbitkan di Indonesia.

Gereja Tugu tak terlepas dari keberadaan orang-orang Portugis yang menjadi tawanan karena kekalahannya di sejumlah wilayah koloninya oleh Belanda.

Andre menambahkan, warga keturunan Portugis yang ada di Kampung Tugu saat ini jumlahnya tidak lebih dari 50 Kepala Keluarga atau sekitar 200-an jiwa.

Area pemakaman leluhur warga Kampung Tugu yang merupakan keturunan Portugis terdapat disisi utara gereja. Di samping kanan gereja terdapat sebuah bangunan panggung yang latarbelakangnya dihiasi dengan lukisan Kristus.

Gereja yang letaknya menghadap ke arah Kali Candrabaga ini juga membuktikan bahwa betapa pentingnya fungsi kali saat itu. Menurut Andre, Kali Candrabaga merupakan satu-satunya sarana bagi warga untuk datang ke gereja. "Dahulu, untuk beribadah ke geraja ini harus menggunakan perahu yang ditambatkan di Kali Candrabaga ini," ujarnya.

Namun kini, kali tersebut tak ubahnya seperti timbunan lumpur dan sampah. Tak ada lagi perahu yang bisa melalui jalur tersebut. [Sumber : Gatra]

Sabtu, 10 Januari 2009

Kampung Tugu : Menapaki Jejak Portugis di Jakarta

MASYARAKAT mengenalnya sebagai Kampung Tugu. Terletak di Kelurahan Semper Barat, Kecamatan Cilincing, kampung itu terkepung sejumlah bangunan industri. Pelabuhan Tanjung Priok hanya sekitar 4 kilometer arah Barat Laut dari sana.

Di kampung itu berdiam masyarakat Tugu. Mereka adalah keturunan Portugis yang mulai menghuni Kampung Tugu sejak 1661. “Kata Tugu diambil dari kata Portuguese,” kata Arthur Michiels, seorang warga Kampung Tugu kepada VIVAnews beberapa waktu lalu.

Cerita bermula ketika VOC berhasil merebut kota pelabuhan di Semenanjung Malaka dari tangan Portugis pada tahun 1641. Belanda membawa Portugis ke Indonesia sebagai tawanan perang. Para tawanan itu ditempatkan di kawasan Kampung Bandan.

Baru setelah 20 tahun menetap di Kampung Bandan, 23 keluarga atau sekitar 150 orang Tugu dimerdekakan dan dipindah ke Kampung Tugu. Oleh Belanda, mereka pun disebut sebagai De Mardijkers, yang artinya orang yang dimerdekakan.

Kala itu, Kampung Tugu masih berupa rawa-rawa yang terkenal sebagai sarang nyamuk malaria dan berbagai penyakit. Di sana, para Tugu bertahan hidup dengan berburu dan menangkap ikan.

Kehidupan masyarakat Tugu di Kampung Tugu pun berjalan sangat harmonis dengan sentuhan budaya Portugis. Bahkan hingga tahun 1940, mereka masih menggunakan bahasa Portugis dalam percakapan sehari-hari. “Kalau sekarang, warga Tugu diberi kursus bahasa Portugis gratis seminggu sekali dari sejumlah kedutaan asing yang berbahasa Portugis,” kata Arthur.

Populasi masyarakat Tugu saat ini diperkirakan mencapai 1.200 orang. Hanya sekitar 600 orang yang kini masih berdiam di Kampung Tugu. Sekitar 100 orang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Sedangkan sekitar 500 orang bermukim di Belanda. “Tahun 1950 banyak warga Tugu yang eksodus ke Papua, lalu migrasi ke Belanda lewat Suriname,” ujar Arthur.

Mereka yang yang masih berdiam di Kampung Tugu pun hidup harmonis dengan menjalankan sejumlah tradisi Portugis. Salah satunya adalah Rabo-rabo. Tradisi ini digelar setiap tahun baru, berupa silaturahmi antar keluarga. Satu keluarga datang ke keluarga yang lain, kemudian dua keluarga ini bersama-sama mendatangi keluarga lain. Demikian seterusnya hingga seluruh keluarga Tugu berkumpul di rumah keluarga tertua. “Sesuai sifat bangsa Portu yang suka pesta. Kami pun selalu mengisi setiap acara dengan lagu dan tarian,” Arthur menambahkan.

Gereja Tugu
Jejak Portugis juga masih terlihat jelas di Gereja Tugu. Gereja ini didirikan sekitar tahun 1678 oleh As Amelchior Leidecker. “Sekarang, tidak hanya masyarakat Tugu yang berdoa di sana. Warga non-Tugu pun banyak yang bergabung,” ujarnya.

Gereja ini masih berdiri tegak dengan bentuk aslinya meski telah beberapa kali mengalami renovasi. Bentuk bangunannya sangat sederhana. Dinding beton berwarna putih dengan kusen kayu jendela dan pintu bercat merah. Di bagian depan gereja terdapat kuburan. Konon, Leydecker juga dimakamkan di situ. [Sumber : Vivanews]