Jumat, 23 Juli 2010

Pemugaran Gereja Tugu Mengecewakan

PROYEK pemugaran Gereja Tugu di Koja, Jakarta Utara, mengecewakan warga setempat. Pasalnya, setelah dipugar, bentuk gereja tidak sesuai dengan bangunan aslinya.

Bangunan bersejarah yang terletak di Jalan Raya Tugu, Semper Barat, Cilincing, Jakarta Utara, itu terlihat lebih ramping. Warga mendesak Pemprov DKI mengembalikan bangunan itu ke bentuk aslinya.

Salah seorang jemaat, Retha Ticoalu (63), yang dihubungi wartawan, Kamis (22/7/2010), mengatakan, para jemaat sudah menyampaikan permintaannya kepada pihak terkait. "Sekarang gereja terlihat lebih ramping karena panjang plafon untuk atapnya dikurangi, seharusnya renovasi tidak mengubah bentuk aslinya," tutur Retha.

Perubahan juga terlihat di bagian atap teras gereja bagian depan dan belakang. Perubahan itu memunculkan masalah saat hujan turun karena tempias membasahi teras gereja.

Para anggota Pelaksana Harian Majelis Jemaat (PHMJ) sudah melayangkan surat ke Dinas Kebudayaan dan Pemuseuman DKI. Namun, dinas tersebut melempar tanggung jawab pengawasan ke Sudin Kebudayaan Jakarta Utara.

Sebaliknya, Kepala Sudin Kebudayaan Jakarta Utara Nanny Ophir menyatakan, pemugaran bangunan cagar budaya itu dilaksanakan oleh dinas, termasuk proses lelang, gambar, dan pengawasan. "Sudin Kebudayaan Jakarta hanya kebagian penganggarannya dan anggaran itu langsung ke rekening bank kontraktor yang bersangkutan," tutur Nanny.

Dikatakannya, instansi terkait sudah empat kali membicarakan masalah ini dengan kontraktor yang mengerjakan pemugaran gereja tersebut berkaitan dengan pengembangan program 12 Destinasi Wisata Pesisir. Dalam rapat, kontraktor menyatakan akan mengembalikan gereja ke bentuk aslinya.

Gereja Tugu adalah salah satu gereja tertua di Indonesia yang tidak diketahui secara pasti kapan mulai dibangun. Para ahli sejarah menyimpulkan gereja itu dibangun sekitar tahun 1676-1678, bersamaan dengan dibukanya sebuah sekolah rakyat pertama di Indonesia oleh Melchior Leydecker. Pada tahun 1737 Gereja Tugu direnovasi pertama kali dibawah pimpinan pendeta Van De Tydt, dibantu oleh seorang pendeta keturunan Portugis kelahiran Lisabon, Ferreira d'Almeida, dan orang-orang Mardijkers. [Sumber : Kompas]