Jumat, 04 April 2008

Masyarakat Tugu : Komunitas Keturunan Portugis di Pinggiran Jakarta

PEMANDANGAN lalulalang kendaraan-kendaraan angkutan berat seperti kontainer seakan menghiasi kawasan ini, karena memang jalan raya Tugu yang menghubungkan antara pelabuhan Tanjung Priok dan Cilincing melalui Plumpang-Semper, setiap harinya dilewati lebih dari ratusan kendaraan berat tersebut, sekitar 700 meter dari pertigaan semper kearah Cilincing kita akan mendapati sebuah gereja tua beserta pekuburan Kristen disampingnya.

Itulah yang dikenal dengan Gereja Tugu, gereja yang hampir berusia tiga setengah abad itu, telah menjadi saksi perkembangan kawasan tersebut dari awalnya sebagai perkampungan keturunan Portugis, sampai sekarang sebagai kawasan hiruk pikuk kendaraan-kendaraan besar yang keluar masuk pelabuhan Tanjung Priok.

Sangat disayangkan salah satu rumah tua yang diperkirakan sebagai warisan warga keturunan Portugis, yang berada tepat didepan gereja telah dihancurkan, walaupun membawa kekecewaan yang mendalam bagi seluruh keluarga keturunan Portugis, yang telah lebih dari empat abad mendiami daerah tersebut

SEJARAH KOMUNITAS TUGU


Keberadaan masyarakat keturunan Portugis di Indonesia atau yang pada saat itu dikenal dengan Hindia Belanda, tidak lepas dari faktor direbutnya Malaka oleh Belanda pada 14 Januari 1641 dari tangan Portugis, pada masa gubernur jenderal Antonio Van Diemen, yang berkuasa di Batavia tahun 1636 – 1645, karena selama 130 tahun Malaka dikuasai Portugis, tepatnya setelah Alburqueque menduduki daerah tersebut sejak 10 Agustus 1511.

Seperti lazimnya daerah yang ditaklukan, maka Belanda membawa orang-orang Portugis beserta keluarganya ke Batavia sebagai tawanan perang, para tawanan perang tersebut selain orang-orang Portugisnya sendiri juga para Mestiezen atau yang berarti campuran, dimana sebagian dari mereka adalah keturunan campuran antara orang Portugis dengan penduduk lokal dengan menganut agama Katolik.

artikel/voc_loc_voc_lo1.jpg

Salah satu lukisan karya F. Dancx (1703), yang mengisahkan keluarga keturunan
Portugis di Kampung Tugu, lukisan ini dilatarbelakangi oleh Gereja Tugu.

Kalau didalam berbagai literature dikatakan, bahwa mereka adalah keturunan para budak yang dibawa dari Malaka setelah kekalahan Portugis tahun 1641, hal itu tidak semuanya benar, karena perlu diketahui bahwa ada suatu perbedaan dari penjajah-penjajah bangsa Eropa lainnya, bangsa Portugis selain sebagai penjajah juga mempunyai misi religius dalam menyebarkan agama Katolik, yang memungkinkan mereka akan berinteraksi sangat dekat dengan penduduk local, bahkan tidak ada masalah bagi mereka untuk melakukan perkawinan secara sah dan resmi dibawah gereja, hal inilah yang mendorong terjadinya proses akulturasi budaya dengan para penduduk local, seperti halnya para keturunan Portugis yang ada di benua Amerika bagian selatan antara lain Meksiko, Venezuela, Brazil dan lain-lain, mereka terlahir sebagai Mardijkers atau Portugis Hitam, dengan memakai nama belakang atau marga Portugis dari pihak ayah mereka.

Setelah beberapa tahun lamanya mereka menetap di Batavia dengan status sebagai tawanan perang, lalu tahun 1661 pada masa gubernur jendral Joan Maetsuyker yang berkuasa di Batavia dari tahun 1653 – 1678, dan atas persetujuan gereja Protestan Batavia dengan VOC mereka dibebaskan, walau dengan syarat mereka harus melepaskan agama asli mereka Katolik, dan berpindah menjadi Protestan, karena kita tahu bahwa Belanda pada saat itu sangat melarang berkembangnya agama Katolik di wilayah jajahannya, hal ini disebabkan adanya sentimen anti Portugis yang notabene beragama Katolik, Kira-kira sebanyak 23 kepala keluarga atau sekitar 150 jiwa, oleh pemerintah Hindia Belanda mereka diberikan lahan atau wilayah yang terletak 10 Kilometer arah tenggara Kota Batavia.

Ditempat yang baru secara kuantitas, masyarakat Tugu berkembang pesat, walaupun pada tahun 1700 banyak dari mereka yang meninggal, akibat terserang wabah penyakit, hal ini dibuktikan dengan data sensus pada tahun 1735, jumlah mereka hanya sekitar 134 jiwa.

KEBUDAYAAN MASYARAKAT TUGU

Keberadaan masyarakat Tugu tidak dapat dipisahkan oleh peran Melchior Leydekker, doktor dalam ilmu kedokteran dan theologia yang datang ke Hindia Belanda pada tahun 1675 untuk ditempatkan di Batavia, sebagai menantu dari gubernur jenderal Abraham van Riebeck, yang berkuasa di Hindia Belanda pada tahun 1709 – 1713, ia memperoleh sebidang tanah di wilayah Tugu.

Dalam suatu tulisan salah satu tokoh masyarakat Tugu panatua J. Quiko mengatakan, bahwa dalam sejarahnya, Kampung Tugu dapat dikatakan sebagai kampung kristen tertua di seluruh Indonesia bagian Barat, hal ini jelas karena keberadaan mereka di wilayah tersebut, adalah suatu upaya pihak Belanda untuk memerdekakan mereka dengan syarat harus berpindah agama dari Katolik menjadi Protestan, dan pada saat itu memang belum ada komunitas Kristen selain mereka, masyarakat lain khususnya komunitas Islam yang sudah ada diwilayah sekitar itu, menyebut mereka dengan istilah Serani atau berasal dari kata Nasrani, dan oleh orang-orang Belanda mereka dijuluki Inheemsche Christenen (20 januari 1840) atau yang berarti umat kristen pribumi, karena pada saat itu dalam perspektif orang-orang Belanda, masyarakat Tugu di golongkan dalam kelompok masyarakat pribumi yang tinggal jauh diluar kota Batavia.

Disamping itu juga,orang-orang Tugu gemar berpantun,mereka kerap menggunakan pantun untuk bercakap-cakap,memberi nasihat,memuji,mengkritik dan lain sebegainya,hal ini berlangsung sampai akhir tahun 1970-an,kemudian,karena makin banyaknya budaya dari luar yang masuk,di karenakan banyaknya pendatang,atau banyaknya orang-orang Tugu yang bersekolah keluar Tugu,maka lambat laun kebiasaan berpantun pun akhirnya hilang.

Gereja Tugu.

Salah satu peninggalan sejarah yang masih ada saat ini adalah sebuah gereja, yang dikenal dengan gereja Tugu, gereja ini secara pasti tidak diketahui kapan mulai dibangun, tetapi para ahli sejarah menyimpulkan sekitar tahun 1678,yang di bangun oleh ads amelchior Leidecker,setelah beliau masuk ke kampung Tugu pada tahun 1675,mendapati sekumpulan masyarakat Kristiani mengadakan kebaktian di rumah-rumah,karena tidak memiliki Gereja sebagai tempat Ibadah, bersamaan dengan dibukanya sebuah sekolah rakyat pertama di Indonesia. Pada tahun 1737/38 Gereja Tugu dilakukan renovasi yang pertama dibawah pimpinan pendeta Van De Tydt, dibantu oleh seorang pendeta keturunan Portugis kelahiran Lisabon yaitu Ferreira d'Almeida, tetapi pada tahun 1740 gereja Tugu hancur, bersamaan dengan terjadinya peristiwa pembantaian Cina di Batavia, pada masa gubernur jendral Adriaan Valckenier yang berkuasa di Batavia pada tahun 1737 – 1741, kemudian pada tahun 1744 atas bantuan seorang tuan tanah Justinus Vinck gereja ini dibangun kembali, dan baru selesai pada 29 Juli 1747 yang kemudian ditahbiskan pada tanggal 27 Juli 1748 oleh pendeta J.M. Mohr.Sebagai catatan,pada tanggal 20 Agustus 1746,Tuan Justinus Vinc menghadap Notaris di Batavia,beliau dalam testamennya menghibahkan Gedung Gereja berikut sawah-sawah (untuk membiayai Gereja dan Pendeta) serta uang sebesar 1200 Riggit kepada komunitas Tugu,hal ini di kenal dengan Testamen Justinus Vinc.Sampai saat ini gereja tersebut masih berdiri dan berfungsi, walaupun diberbagai sudut sudah banyak yang harus diperbaiki karena factor usia, gereja ini tampak sederhana tetapi tampak kokoh dan rapi, dengan berisi bangku diakon antik, piring-piring logam, dan mimbar tua, sedangkan lonceng yang ada di gereja tersebut diperkirakan dipugar pada tahun 1880,yang mana sebelumnya menaranya terbuat dari kayu,adapun loncengnya sendiri lebih tua 9 tahun,karena berasal dari Gereja yang terbakar, karena lonceng paling tua yang dibuat 1747 sudah rusak dan disimpan disalah seorang rumah pendeta disana.

Bahasa dan Kesenian Masyarakat Tugu.

Sebenarnya bukan hanya bahasa Portugis yang membawa pengaruh terhadap perkembangan bahasa Betawi, karena kita tahu kebudayaan Betawi, merupakan akulturasi dari berbagai macam kebudayaan yang ada di Nusantara, salah satu bahasa yang mempengaruhinya adalah bahasa Portugis.

Walaupun saat ini keturunan dari masyarakat Tugu banyak yang tidak tahu bahasa Portugis, tetapi dari berbagai literature dikatakan bahwa hingga pertengahan abad 20, banyak dari masyarakat Tugu yang mahir berbahasa Portugis, seperti halnya pada saat Natal mereka saling berkata, Bintisinko dia di dicember nos sior dja bi mundu, Libra nos pekador (Pada tanggal 25 Desember Tuhan telah datang ke dunia, selamatkanlah kami orang berdosa), bahkan dari mereka pada saat itu di acara-acara tertentu, masih ada yang suka menggunakan jas hitam dan topi model Portugis.

Atraksi budaya yang paling terkenal dari masyarakat Tugu adalah keroncong, yang biasa dikenal dengan Keroncong Tugu, dalam menyambut tahun baru mereka selalu menampilkan musik khas tradisional tersebut, dibarengi dengan acara mandi-mandi bersama, dengan saling melumuri bubuk putih ke wajah mereka masing-masing, tujuannya adalah selain menyambut tahun baru juga untuk menambah keakraban persaudaraan diantara mereka.adapun oarang Tugu menyebutnya dengan nama Mande-mande (baca:mandi mandi),selain itu,ada lagi perayaan Tahun Baru di Tugu,yakni Rabo-Rabo (baca : rabu-rabu ),artinya Mengekor (Rabo=ekor)dimana acara berlangsung tgl 1 Januari,yakni permainan musik Krontjong di satu Rumah kemudian berpindah kerumah lainhnya,dan seterusnya,dan penghuni rumah yang didatangi ikut serta dalam rombongan pemain krontjong,sehingga membentuk rombongan besar yang mengekor terus,itu lah makanya dinamakan Rabo-rabo.

artikel/voc_loc_voc_lo2.jpg

Alat-alat Instrumen Musik Keroncong, warisan masyarakat Tugu
yang terkenal sampai ke mancanegara

Mata Pencaharian Masyarakat Tugu.

Berbeda dengan keadaan sekarang, dahulu wilayah Tugu dan sekitarnya masih berupa hutan dan perkebunan, masyarakatnya hidup secara agraris, apalagi setelah tuan tanah Justinus Vinck pada tahun 1747 memiliki tanah disekitar wilayah tersebut, ia banyak sekali membantu ekonomi masyarakat Tugu, dengan memberikan 1200 Gulden dan beberapa hektar sawah, untuk pengembangan masyarakat tersebut. Masa lalu pada saat masih terdapat banyak hutan, orang Tugu paling gemar berburu, dan dari hasil buruannya sering mereka buat dendeng, yang waktu itu bahkan sampai sekitar akhir tahun limapuluhan terkenal dengan dendeng Tugu-nya.

MASYARAKAT TUGU YANG SEMAKIN TERDESAK .

Keberadaan kelompok masyrakat Tugu saat ini, khususnya mereka yang mempunyai jalur masyarakat keturunan Portugis, hanya berjumlah sekitar 50 kepala keluarga dari 200 kepala keluarga yang berada diluar kampung Tugu itu sendiri, ada beberapa factor yang menyebabkan keadaan demikian, salah satunya adalah dengan terjadinya silang perkawinan dengan masyarakat lainnya, selain itu sudah banyaknya dari mereka yang pindah kedaerah lain, dan saat ini keberadaan mereka disatukan oleh sebuah organisasi yang dikenal dengan IKBT (Ikatan Keluarga Besar Tugu) dengan ketuanya sekarang Andre Juan Michiels.

artikel/voc_loc_voc_lo3.jpg

Andre Juan Michiels, Ketua IKBT (Ikatan Keluarga Besar Tugu),
“Kami hanya ingin melestarikan Budaya Tugu, itu saja ”.

Upaya Bung Andre, panggilan ketua IKBT yang baru-baru ini mendapat penghargaan dari gubernur Sutiyoso, untuk menjaga kelestarian kebudayaan Tugu patut memdapat pujian, ia pula yang berusaha keras menolak pembongkaran rumah tua kampung tugu yang waktu itu. Cuma hanya tinggal dua rumah tua yang tersisa, dan satunya lagi yang merupakan warisan dari keluarga Michiels masih dirawat dan ditempati oleh keluarga Bung Andre, walaupun keadaanya sekarang sudah sangat memprihatinkan.

artikel/voc_loc_voc_lo4.jpg
Satu-satunya peninggalan Rumah Keluarga Keturunan Portugis yang masih berdiri di
kampung Tugu, walaupun keadaannya sudah sangat memprihatinkan, dan saat ini
dirawat oleh Ketua IKBT, Andre Juan Michiels

Satu-satunya peninggalan Rumah Keluarga Keturunan Portugis yang masih berdiri di kampung Tugu, walaupun keadaannya sudah sangat memprihatinkan, dan saat ini dirawat oleh Ketua IKBT, Andre Juan Michiels

Saat ini komunitas Tugu dapat dikatakan sebagai salah satu tujuan wisata yang menarik di Jakarta, baik dari segi sejarah maupun budayanya, karena kampung Tugu merupakan satu-satunya Komunitas keturunan Portugis yang menganut agama kristen Protestan, berbeda dengan komunitas keturunan Portugis di tempat lain yang mana mereka mayoritas adalah penganut agama Katolik, disisi lain kampung Tugu selain mempunyai aksesbilitas cukup mudah di tempuh dari pusat kota, juga kampung ini mempunyai daya tarik budaya yang sangat terkenal yaitu musik krontjong.hanya saja,kesiapan dari masyarakat Tugu masih sangat kurang,jika di bandingkan dengan daerah tujuan wisata lainnya,hal ini selain factor local,juga kurangnya perhatian dari Pemerintah dalam menata kampung Tugu agar layak di jadikan sebagai daerah tujuan wisata,sebagai contoh,dahulu, orang Tugu membuat alat musik sendiri dalam berkesenian,sekarang tidak ada lagi yang membuat (local) lalu sebagaian besar masyarakat Tugu tidak kenal dengan lurahnya, (Kelurahan Semper Barat), karena beliau tidak “care” dengan Kampung Tugu, ini dari sisi pemerintah,lalu bagai mana dengan Kecamatan dan seterusnya?? padahal potensi yang bisa di gali sangat besar,karena disamping sebagai tempat lahirnya krontjong,masyarakatnya yang keturunan Portuguese, kampung Tugu juga merupakan cikal bakal pendidikan Formal di Jakarta Utara,karena sejak tahun 1678 sudah ada sekolah di Kampung Tugu,dan adanya SDN Semper Barat 01,merupakan sumbangsih dari Orang Tugu di bidang pendidikan(lahannya merupakan sumbangan dari keluarga MICHIELS) dan SDN Semper Barat 01,merupakan sekolah Negri Pertama di Jakarta Utara,yang sekarang dalam proses Pemugaran Total sejak tahun 1956 sekolah itu berdiri.SMA 52 pun tidak lepas dari peran serta Orang Tugu,(Arend J Michiels),karena sulitnya Pemerintah mencari lahan untuk membangun sekolah,sekarang SMA 52 berdiri megah,dengan bangunan 4 lantai,diatas lahan yang cukup luas,juga dengan keberadaan SMPN 231,yang dahulunya merupakan sawah milik Orang Tugu.hanya saja,setelah semua itu ada,bagaikan kacang lupa kulitnya,Orang Tugu seperti terlupakan,bahkan tidak tertutup kemungkinan orang-orang nakal yang mengambil keuntungan dari hal-hal yang telah di lakukan oleh Orang Tugu, ibarat kerbau punya susu, sapi punya nama.[Sumber : www.kroncongtoegoe.com]